Rawa dan sungai adalah kehidupan pesisir di Papua. Sungai yang bermuara ke Laut Arafura ibarat darah bagi penduduk di pedalaman, salah satunya Suku Asmat yang tinggal di Kampung Syuru, Distrik Agats, Kabupaten Asmat. Mereka sangat tergantung dengan Sungai Asewetsj.
Sungai Asewetsj adalah kehidupan bagi mereka. Saban hari, laki-laki dan perempuan dengan perkasa tegap berdiri di atas perahu lesung mengayunkan dayung, menyisir sungai untuk menangkap ikan. Ada pula yang memanfaatkan air pasang untuk pergi ke bivak (semacam kebun di dekat hutan sagu), atau mencari air di dusun tengah hutan.
Kehidupan di Kampung Syuru memang tampak keras. Tapi mereka hidup sederhana, tak serakah dan bersahabat dengan alam. Salah satu tetua adat Syuru, Felix Owom, meyakini Syuru sebagai dusun tertua atau tempat asal-muasal orang Asmat. Dari sana kemudian orang Asmat menyebar ke berbagai daerah.
Banyak cerita, salah satunya, konon, Fumeripits yang dikenal sebagai manusia pertama terdampar di Syuru ketika perahunya terbalik disapu badai. Fumeripits yang tampan lalu dihidupkan oleh burung elang. Lama-kelamaan Fumeripits kesepian tanpa teman. Dia kemudian membuat patung dari kayu pohon berwujud perempuan dan sebuah tifa.
Sambil menari, tifa dipukul kencang-kencang. Tiba-tiba patung perempuan itu ikut menari. Juga patung-patung lain yang dibuatnya. Barangkali itu sebabnya sebagian orang meyakini konon Asmat berasal dari sebutan asmat-ow yang berarti "kami manusia sejati" atau as-asmat, yakni "kami manusia pohon".
Falsafah manusia sejati kemudian mereka wujudkan dalam kehidupan yang dekat serta menghargai alam. Mereka tak macam-macam. Saat musim kering berkepanjangan, setiap keluarga di sana hanya sibuk membuat perahu dari kayu Ci. Pembuatan perahu rata-rata membutuhkan waktu lebih dari sebulan dan setiap keluarga bisa membuat lebih dari dua perahu.
Selain sederhana, mereka pun sangat menghargai kebudayaan yang sudah turun temurun. Salah satunya adalah ritual menyambut panglima besar Suku Asmat yang juga Bupati Kabupaten Asmat. Upacara penyambutan biasanya dilakukan di tengah sungai.
Kala itu, mereka mendapat kabar sang panglima sudah sampai di Kampung Ewer, tetangga kampung terdekat dengan Kampung Syuru. Mereka pun segera menaiki sampan untuk menyambutnya di tengah Sungai Aswet yang melintasi Kampung Ewer.
Suku Asmat memang terpisah menjadi tujuh distrik dengan jumlah populasi sekitar 80 ribu jiwa. Setiap distrik dipisahkan oleh rawa dan sungai. Namun mereka biasa berkumpul dalam sebuah rumah besar sebelum acara penyambutan. Bentuk fisik arsitektur Suku Asmat digolongkan dalam dua tipe, yaitu Jew (rumah bujang) dan Tsjewi (rumah tempat tinggal keluarga batih). Jew memiliki tempat yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Asmat.
Mereka berdandan layaknya prajurit yang siap melindungi keselamatan suku mereka. Mereka akan bergegas menuju perahu kala mendengar sang pemimpin sudah tiba. Sambil menyusuri Sungai Aswet, mereka berteriak ke penjuru desa sambil membentuk formasi perahu lesung yang masing-masing bisa berbobot empat kuintal dengan panjang hingga dua meter. Formasi adalah bentuk tarian perang yang kini menjadi ritual penting dalam menyambut tamu.
Selain budaya, penduduk Kampung Syuru juga amat piawai membuat ukiran seperti Suku Asmat umumnya. Ukiran bagi Suku Asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. Di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran Suku Asmat.
Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. Bagi Suku Asmat kala mengukir patung adalah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yang ada di alam lain. Itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Asmat ow Capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow Capinmi (alam persinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
Mereka percaya sebelum memasuki dunia surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta seperti pesta Patung Bis (Bispokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat sagu.
Konon patung Bis adalah bentuk patung yang paling sakral. Namun kini membuat patung bagi Suku Asmat tidak sekadar memenuhi panggilan tradisi. Sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat Pesta Ukiran. Mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi antara Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah di luar Papua.
Namun penghargaan terhadap leluhur tidak hanya dalam bentuk ukiran patung. Suku Asmat juga mempersembahkan tarian yang mereka sebut jew bu atsj. Tarian menceritakan asal usul nenek moyang mereka. Selain itu, mereka juga sering menarikan tari pirang, tari bakar batu dan tari jos panpacar dengan iringan alat musik tradisional yang disebut tifa.(ICH/Tim Potret)
Sumber :
http://berita.liputan6.com/progsus/200611/131934/class='vidico'
4 November 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar