Selasa, 15 Februari 2011

Jejak Pengasingan Bung Hatta di Boven Digul Kekayaan Alamnya Menyilaukan


SOBAT MP, tahu nggak bahwa ternyata di ujung timur Indonesia itu terdapat sebuah tempat yang punya nilai sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tapi kalo mendengar sejarahnya mungkin bikin kita merinding. Karena tempat itu pernah jadi kamp pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, seperti Bung Hatta dan Sutan Sjahrir. Selain punya nilai sejarah, daerah ini juga memiliki kekayaan alam yang. sayang, tempat yang punya nilai sejarah itu kurang terawat. Itulah Kabupaten Boven Digul dengan Ibu Kotanya Tanah Merah.

Kabupaten Boven Digul dibentuk dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2002, hasil pemekaran dari Kabupaten Merauke, bersamaan dengan sejumlah kabupaten lain di bagian selatan Pulau Cenderawasih, yakni Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mappi. Kabupaten Boven Digul tercatat sebagai salah satu kabupaten di wilayah Perbatasan RI - Papua Nugini.




Boven Digul nggak hanya jadi saksi sejarah buat Indonesia, tapi ternyata punya kandungan emas. Bahkan Kecamatan Bomakia, tempat suku Korombay dan Kombai yang masih tinggal di atas pohon, dipercaya masih menyimpan batu bara di balik tanah berbukit-bukit. Kandungan yang terdapat di balik tanah itu belum diteliti. Selain itu, masih ada kandungan nikel dan biji besi yang lumayan melimpah. Hebat sekali ya.

Digul Tempo Dulu
Banyak diantara generasi muda Indonesia yang belum mengetahui, bahwa di balik keindahan alamnya yang mempesona, Digul menyimpan cerita tersendiri dalam sejarah merebut kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebenarnya, Boven Digul tercetak tebal dalam sejarah panjang Indonesia. Dulu, bila mendengar nama wilayah ini, orang akan bergidik. Langsung terbayang tempat sepi, jauh, bagai di ujung dunia, berawa-rawa, dan tempat pembuangan tahanan politik. Yang lebih bikin bergidik lagi, konon, di sana ada suku yang kanibal, maksudnya, suka makan daging manusia!

Waktu itu, Pemerintah Hindia Belanda mengirim orang-orang yang terlibat pemberontakan komunis di Jawa Barat tahun 1926, juga pemberontakan di Sumatera Barat tahun 1927 ke Tanah Merah dan Tanah Tinggi, Kecamatan Mandobo, yang mulai dibangun pada tanggal 10 Januari 1927. Tahun 1935, tokoh-tokoh pergerakan nasional, antara lain Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, juga diasingkan ke tempat penuh nyamuk ini.

Diceritakan pula, bahwa karena suasana yang ada waktu itu, banyak pejuang kita yang meninggal dunia karena terserang malaria dan banyak yang meninggal karena menderita stress berat. Bayangkan saja. Mereka nggak pernah mau menyerah. Luar bisa sekali ya keteladanan mereka?

Di kabupaten itu juga terdapat sejumlah peninggalan Pemerintah Belanda dan para tawanan politik ketika itu. Di antaranya rumah sakit Belanda, rumah para //bestuur// (pengurus), penjara bawah tanah, dan makam tawanan. Untuk untuk mengenang kaum Digulist di kabupaten itu didirikan monumen yang dikenal dengan nama Digul Dalam Tembaga di Taman Makam Pahlawan di Ujung B Desa Sokanggo Distrik Mandobo.


Digul Riwayatmu Kini

Peninggalan-peninggalan bersejarah zaman Hindia Belanda saat ini dalam keadaan yang memprihatinkan. Abrasi akibat arus sungai di sisi bangunan bersejarah di Tanah Merah terus mengancam. Bisa-bisa, peninggalan itu lenyap karena hanyut atau habis digerus sungai yang lebarnya 500 meter.

Demikian pula yang merupakan efek positif bagi penduduk setempat, tindakan Pemerintah Belanda waktu itu dimanfaatkan oleh para pejuang untuk berkomunikasi dengan penduduk sekitar tahanan. Hubungan yang akrab ini menyebabkan banyak karya atau surat dari pejuang yang bisa dikirim ke luar tahanan, bahkan sampai ke Batavia sehingga bisa dikatakan bahwa mereka memeng terkurung namun semangatnya membara hingga ke seluruh Nusantara.

Di samping itu, pejuang kita berkontribusi memajukan penduduk lokal. Dari cara bertani, perdagangan sederhana, hingga membaca ditularkan oleh tahanan beserta keluarganya kepada masyarakat sekitar. Jika kita melihat kemahiran penduduknya dalam pertanian dan perdagangan saat ini, itulah saksi nyata karya anak bangsa yang menyatukan negeri walau berbeda tetapi tetap satu. Indonesia.

Sementara itu, Wens Katukdoan, penduduk asli Boven Digul yang ditugaskan pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat, mengatakan, dirinya hanya berharap biaya perawatan dari sumbangan dan belas kasihan Pemerintah Kabupaten Boven Digul.


Transportasi ke Digul Susah

Di samping perawatan peninggalan zaman Hindia Belanda, persoalan besar lain yang harus dihadapi adalah minimnya prasarana. Pengembangan perekonomian akan lebih mudah kalau daerah ini lebih gampang dijangkau.

Dari pusat pemerintahan Kabupaten Merauke, diperlukan waktu sembilan jam menggunakan kendaraan gardan ganda dengan biaya sekitar Rp 300.000; Tetapi, itu bisa dilakukan bila hari cerah, tak ada hujan. Jika hujan, perjalanan dari Merauke ke Tanah Merah bisa menghabiskan waktu dua hari karena sebagian besar jalan diaspal dan penuh lumpur.

Sungai-sungai lebar yang mengaliri kabupaten ini membantu pergerakan penduduk. Sungai Digul bisa dilintasi bila hendak ke Tanah Merah dari Merauke. Waktu yang dibutuhkan sekitar enam jam setelah sebelumnya harus melintasi jalan darat Merauke-Asiki, Kecamatan Jair, enam-tujuh jam. Ongkosnya sekitar Rp 175.000.

Sungai juga digunakan untuk transportasi antarkecamatan. Bahkan Kecamatan Kauh dan Bomakia, hanya bisa dicapai melalui sungai karena ketiadaan jalan darat.

Kampung terdekat dari Tanah Merah yang ditempuh 90 menit menggunakan kapal motor (longboat) bertarif Rp 100.000 per orang adalah Kampung Maryam di bagian hulu Tanah Tinggi, tempat pembuangan tokoh pergerakan nasional pada pertengahan tahun 1920-an.

Tarif angkutan sungai tergolong mahal, tetapi itulah satu-satunya pilihan yang harus diambil warga kampung untuk mengakses ibu kota. Jalan darat bisa ditempuh berhari-hari membelah hutan. (SY)


Dari Berbagai Sumber.




Sumber :
http://majalahpelajar.com/read/jejak.pengasingan.bung.hatta.di.boven.digul.kekayaan.alamnya.menyilaukan.html 

Sumber Gambar:
http://healthntourism.co.id/home/images/stories/tourism/boven.jpg

1 komentar:

  1. Semoga sejarah Digul tidak hilang ditelan masa, perhatian pemerintah sudah seharusnya ditingkatkan, sebelum lebih banyak pihak asing yang melirik

    BalasHapus